Senin, 26 April 2010

cerpen part.1

CINTAKU DI PENGHUJUNG JALAN

By : Esti Khoirun Nisa
24/03/10

Aku tak merasakan lagi gairah cintamu yang dulu pernah hangatkan relung jiwaku. Butiran-butiran kasihmu kini hanya tinggal titik-titik kecil yang samar. Kau menghilang begitu cepat, tanpa tahu bagaimana aku sangat mencintaimu.
“Maafkan aku Nee.” Katanya di malam itu.
“Tapi aku yakin cinta kita mampu mengatasi segalanya.” Pintaku memohon padanya. Dua tahun sudah kuarungi bahtera cinta bersamanya. Dan kini aku berada di titik dimana aku tak bisa jauh darinya.
“Tidak Nee. Cinta tidak selalu bisa mengatasi segalanya.” Katanya. “Kita tidak akan bisa bertemu lagi.” Katanya lagi dengan suara yang sendu. Ingin aku meneteskan air mata yang sudah hampir meleleh di ujung kedua bola mataku ini. Tapi aku tak sanggup. Aku tak akan bisa hentikan langkahnya lagi. Ayolah Enee! Relakan dia pergi. Hidup ini adalah pertemuan dan perpisahan. Tak akan ada yang abadi di dunia ini.
“Tapi kamu mau kan berjanji padaku?” kataku lagi padanya setelah terdiam sesaat.
Dia hanya menatapku sambil tersenyum. Wajahnya pucat, melambangkan kesedihan yang teramat sangat.
“Cinta kita akan selalu ada. Kamu mau kan berjanji seperti itu kepadaku?” lanjutku masih menatap wajahnya yang selama dua tahun ini tidak pernah jauh dariku.
Dia mengalihkan tatapannya dari pandanganku. Dia melihat ke atas ke arah dimana bintang-bintang bertebaran begitu indah.
“Cinta kita seperti bintang-bintang itu Sayangku. Menyinari langit. Begitu indah. Seakan membuat orang yang memandangnya ingin merasakan indahnya cinta kita.” Dia tersenyum kemudian kembali menatapku dalam-dalam. “Aku selalu mencintaimu. Bahkan di saat kamu terlelap dalam duniamu. Aku tetap mencintaimu. Bahkan di saat kamu tak menginginkanku ada di sampingmu. Aku tak bisa ungkapkan betapa besarnya cintaku padamu karena tak ada kata-kata yang mampu mewakili perasaanku padamu. Jangan pernah berfikir aku tidak mencintaimu, karena cintaku tak akan pernah berubah hingga kamu tak mampu untuk mencintaiku lagi.”
Aku menitikkan air mata. Betapa dia sangat, oh bukan, tetapi amat sangat mencintai diriku. Aku menangis karena bahagia. Ingin aku merengkuhnya untuk memeluknya sekuat yang aku bisa. Tidak akan aku biarkan dia pergi dariku. Namun, tidak akan ada lagi yang untuk menahannya tetap berada di sini. Penderitaannya begitu berat. Aku tak sanggup mlihatnya seperti ini. Hanya bisa terduduk di sebuah kursi roda, lumpuh seluruh anggota gerak tubuhnya. Semuanya berawal dari penyakit aneh yang tiba-tiba datang menghampirinya. Andai aku bisa, ingin rasanya aku menggantikan posisinya saat ini. Aku tak sanggup, benar-benar tak sanggup melihat orang yang aku cintai dalam kondisi seperti ini.
Malam ini dia terlihat berbeda dari biasanya. Ada suatu pancaran aneh dari matanya yang aku tak paham apa maksudnya. Mungkinkah ini adalah malam terakhir kami untuk bias bersama. Aku takut. Tapi aku tetap berkeyakinan bahwa cinta kami akan mampu merubah segala-galanya. Walau aku menyadari dan amat sangat menyadari bahwa itu adalah hal yang sangat musahil terjadi. Akan tetapi, akan lebih mustahil bila aku hidup tanpa dia, tanpa cintanya yang selama ini telah kuatkan aku tuk perjuangkan hidupku.
“Nee, peluk aku Sayang.” Dia mentapku berharap aku memeluknya. Tangisku semakin menjadi. Aku tak sangup untuk menatap matanya. Aku takut kehilangan cintaku.
“Kau membuatku sedih.” Lanjutnya lagi.
Aku berlutut di hadapannya. Dengan air mata yang masih deras mengalir di pipiku, aku menatapnya. Kemudian memeluk tubuhnya yang dingin.
“Aku sangat menyayangimu Hen. Aku tidak mau kehilangan kamu. Kamu adalah aku. Tanpamu akau tidak ada artinya Sayang.” Kataku saat memeluknya. ”Hen, Hendra!” Panggilku. Tetapi dia tak menyahut. Aku melepas pelukanku dan menatapnya. Matanya terpejam. Wajahnya begitu pucat.
Angin berhembus dingin menusuk tulang sumsumku. Aku terpaku dan tak mampu mengatakan apapun lagi. Apalagi saat kulihat sesosok wanita terbaring di sudut ruangan ini. Ruangan dimana aku dan Hendra sering menghabiskan waktu berdua.
Aku menghampiri sosok wanita itu. Meski dalam kegelapan malam aku masih mampu melihat titik-titik cahaya yang terpantul dari sosok itu. Dia terbaring tak berdaya. Wajahnya juga terlihat sangat pucat hingga aku takut untuk melihatnya. Kemudian aku semakin dekat dengan sosok itu. Dan kini aku mampu melihat siapa sosok itu sebenarnya.
Ya Tuhan!!! Apakah     Kau menciptakan dua makhluk yang sangat mirip bahkan identik walau mereka bukan anak kembar? Aku memperhatikannya lagi. Oh itukah diriku yang terbaring tak berdaya dengan wajah sepucat itu dan sedingin es itu???
Aku terduduk di lantai lemas tak berdaya.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar