Senin, 26 April 2010

cerpen part.2

BAYANGAN

By: Esti Khoirun Nisa

Malam kian larut. Namun mata ini belum bisa terpejamkan. Bayangan itu kembali muncul dalam pikiranku. Ah tidak! Itu telah lama berlalu dan aku benar-benar tak ingin mengulangnya kembali. Benar! Aku masih punya masa depan yang bias akan lebih cerah tanpanya.
Aku memasuki kamarku yang sedang dalam keadaan berantakan. Aku ingat bahwa semalam aku aku memimpikan Mia. Dan kini aku baru tiba dari makamnya yang aku rasa tidak terlalu jauh. Kalaupun jauh, sejauh apapun itu akan tetap ku tempuh.
Dengan malas aku merapikan tempat tidurku. Ah bahkan aku bingung harus memulainya dari mana. Terlalau rumit serumit pikiranku. Atau, aku yang membuat semuanya menjadi rumit? Atau masalah-masalah ini yang akhirnya meracuni pikiranku dan membuatnya menjadi rumit? Entahlah. Kurasa itu bukan masalah pokok yang perlu aku perdebatkan terlalu panjang. Sekarang semuanya serba rumit. Bahkan aku merasa apa yang ada dalam diriku semuanya rumit. Aku tidak paham dengan kehidupan ini. Mengapa aku harus dilahirkan. Mengapa ada yang harus meninggal. Mengapa tidak ada yang kekal. Emm… Mamaku pernah mengatakan….. Mama? Bahkan aku tidak sanggup mengerti tentang mamaku. Beliau terlalu rumit untuk aku pahami. Dan ayahku. Saudaraku. Semuanya rumit dan terlalu rumit untuk aku mengerti. Aku tidak sanggup untuk mengrti mereka. Dan aku yakin mereka pun tak akan sanggup mengerti aku.
Biarlah hanya aku dan duniaku saja. Tak ada yang lain. Aku merasa bahagia dengan diriku yang sekarang. Bukannya aku merasa aku tak membutuhkan orang lain, tetapi aku merasa cukup berteman dengan diriku saja. Dan juga Mia. Tapi kini dia telah tiada. Aku semakin rumit tanpanya. Dia lah satu-satunya yang paling mengerti akan diriku. Lebih dari Penciptaku kurasa. Tak pernah menolak apapun yang aku katakana dan aku pinta. Yang paling penting, dia tidak pernah merasa bahwa diriku sulit untuk dimengerti.
Aku melirik ke arah jam dinding bergambarkan Hello Kitty di dinding kamarku. Sudah menunjukkn pukul 9 lebih. Ah, sebentar lagi orang-orang membosankan itu akan segera datang.
“ Halo Amy… Apa kabar?” sapa seorang lelaki setengah baya itu begitu dia memasuki kamarku dengan senyumnya yang menurutku begitu menakutkan sekaligus menimbulkan rasa benci yang teramat sangat. Dia seperti budak saja. Mau disuruh-suruh hanya demi uang. Aku tidak mengerti jalan pikiran orang itu. Mengapa dia tidak melakukan apa yang dia suka. Bukankah itu akan lebih menyenangkan.
“ Kok diam saja?” kata lelaki berbaju putih itu masih tetap dengan senyumnya yang membuatku ingin muntah. Apa mungkin dia pikir aku tidak tahu kalau dia hanya sedang bersandiwara di hadapanku. Semuanya hanyalah ilusi. Aku tidak menyukai orang-orang seperti itu. Dan sekali lagi, terlau rumit bagiku untuk memikirkan apa yang mereka pikirkan.
“ Ayo obatnya diminum dulu.. Nanti kalau Mama kamu tahu kamu tidak minum obatnya, nanti Mama kamu marah lho.. Bentar lagi mereka datang.” Kata lelaki itu agi. Kini dia sudah berada tepat di depanku. Dia menarik dua buah kursi busa ke dekat kami lalu dengan isyarat dia menyuruhku untuk duduk. Dengan enggan aku pun duduk di hadapannya. Untuk mengalihkan perhatianku padanya, aku mengambil sebuah buku di dekatku. Aku pura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku tahu ini akan membuatnya semakin jengkel kepadaku, dan itulh tujuanku. Dia akan cepat berlalu begitu aku tidak bersikap baik padanya.
“ Baiklah Amy, saya tidak lama-lama kok. Teruskan saja pekerjaanmu.” Kata lelaki itu sambil tersenyum padaku lagi. Aku heran dengan orang itu. Selalu memasang senyum seperti itu apa akan membuatnya terlihat lebih menyenangkan di hadapan orang lain. Bagiku tidak. Terlalu rumit untuk menjelaskannya. Aku lebih menyukai yang apa adanya. Hanya Amy. Dia tidak pernah berusaha menjadi yang lain. Apa adanya, dan memahamiku apa adanya. Tidak banyak bicara. Tidak membuatku bosan dengannya.
Setelah menepuk pundakku dia meninggalkan aku sendirian di kamarku yang masih berantakan itu. Kemudian seorang wanita muda menghampirinya dengan agak berlari-lari kecil.
“ Dok, pasien down syndrome di kamar 14A kabur lagi.” Kata wanita yang juga berpakaian serba putih seperti lelaki yang tadi menghampiriku. Kemudian setelah bebrapa saat mereka berdua menghilang dari penglihatanku. Apa enaknya hidup seperti itu. Selalu saja ada sesuatu yang membuatnya repot, cemas, khawatir, gelisah. Hidupnya sangat tidak berarti bagiku. Dan hidupku juga mungkin tidak berarti bagi mereka, juga bagi dua orang yang mengaku sebagai orangtuaku.
Meong.. meong..
Ah, Mia. Kaukah itu Sayang? Aku mencari-cari asal suara itu di setiap penjuru kamarku. Dan akhirnya aku menemukan sosok yang memiliki suara itu. Mia! Aku menghampirinya. Menggendongnya, menimangnya. Aku senang sekali bisa berjumpa dengannya lagi. Dialah sahabat terbaikku yang selalu mengerti aku. Dan aku pun juga sama, tahu apa yang dia inginkan.

“ Dok, bagaimana bisa Amy menghilang? Kami telah membayar Anda dengan sangat mahal untuk menjaganya. Tapi kenapa terjadi hal seperti ini? Sudah 2 hari kalian pihak rumah sakit belum menemukannya. Saya akan melaporkan Anda ke polisi bila Anda tidak bisa menemukannya! Kalau perlu saya akan menuntut ganti rugi kepada Anda!” kata Nyonya Aurel pagi itu di kantor dokter Wahyu. Suami wanita itu hanya diam saja. Wajahnya terlihat sangat tegang.
“ Tenang Nyonya. Saya akan menemukan anak Anda. Secepat mungkin.” Kata lelaki yang dipanggil dengan sebutan Dokter itu.

Sore itu langit terlihat mendung. Sesekali angin berhembus begitu dingin menusuk tulang sumsum. Di sebuah gang terpasang sebuah bendera berwarna kuning. Bendera berduka cita.
Tangis seorang wanita menggema ke seluruh penjuru ruangan yang begitu besar itu. Sedangkan seorang lelaki berada di sampingnya dan menenangkannya. Berkali-kali wanita itu pingsan. Suasana haru. Aku tidak mengerti mengapa harus seperti ini. Bukankah mereka endiri yang mengatkan bahwa jika ada pertemuan pasti ada perpisahan. Tetapi mengapa mereka sendiri bersikap seperti itu.
Beberapa menit kemudian, seorang lelaki yang kemarin ditemui oleh wanita itu di rumah sakit datang ke rumah itu.
“ Maafkan saya Nyonya.” Katanya dengan suara yang begitu mengharukan.
“ Bagaimana mungkin Mia meninggal 2 hari yang lalu tetapi Anda mengatakan bahwa Mia menghilang baru tadi pagi Dok? Kenapa?” kata Mama di sela-sela tangisnya.
“ Seorang warga menemukannya di dekat mayat seekor kucing. Dan saksi lain mengatakan bahwa Mia mengejar kucingnya yang kabur hingga melewati rel kereta api, dan…… dan kejadian naas itupun terjadi. Maaf, saya sangat menyesali kejadian tersebut.” Kata Dokter. Tangis Mama pun semakin meledak. Sedangkan Papa hanya diam saja tanpa ekspresi. Aku tahu, lelaki itu memang menginginkanku segera pergi dari hidupnya, karena dengan demikian dia akan mendapatkan semua harata yang Mama miliki. Tetapi aku tidak seperti anak yang lainnya. Aku berbeda dari yang lainnya. Aku… aku pun merasa ini sangat rumit.  Aku ingin melakukan sesuatu, sesuatu yang berarti, tetapi aku terlahir dengan segala keterbatasanku.
“ Mungkin Anda tidak akan percaya Nyonya. Tapi, pagi hari sebelum Nyonya dan Tuan datang ke rumah sakit, saya masih menemui Mia di kamarnya, dan saya sempat mengajaknya bicara, walau dia tidak menaggapinya sedkitpun.” Lanjut Dokter itu lagi.
Aku melenggang pergi dari rumah itu. Trmpat dimana aku pernah dibesarkan dan mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Meskipun tanpa ayah. Tetapi aku senang, karena mulai saat ini aku akan bisa berkumpul bersama ayahku yang sejak kecil telah meninggalkanku untuk selamanya. Dan tentu saja aku bersama dengan sahabat setiaku.
“ Amy, kemarilah Sayang…” Papa memanggilku. Akupun berlari ke dalam pelukan Papa yang begitu hangat, yang begitu aku rindukan selama 16 tahun ini.


TAMAT

29/03/10 23:24

cerpen part.1

CINTAKU DI PENGHUJUNG JALAN

By : Esti Khoirun Nisa
24/03/10

Aku tak merasakan lagi gairah cintamu yang dulu pernah hangatkan relung jiwaku. Butiran-butiran kasihmu kini hanya tinggal titik-titik kecil yang samar. Kau menghilang begitu cepat, tanpa tahu bagaimana aku sangat mencintaimu.
“Maafkan aku Nee.” Katanya di malam itu.
“Tapi aku yakin cinta kita mampu mengatasi segalanya.” Pintaku memohon padanya. Dua tahun sudah kuarungi bahtera cinta bersamanya. Dan kini aku berada di titik dimana aku tak bisa jauh darinya.
“Tidak Nee. Cinta tidak selalu bisa mengatasi segalanya.” Katanya. “Kita tidak akan bisa bertemu lagi.” Katanya lagi dengan suara yang sendu. Ingin aku meneteskan air mata yang sudah hampir meleleh di ujung kedua bola mataku ini. Tapi aku tak sanggup. Aku tak akan bisa hentikan langkahnya lagi. Ayolah Enee! Relakan dia pergi. Hidup ini adalah pertemuan dan perpisahan. Tak akan ada yang abadi di dunia ini.
“Tapi kamu mau kan berjanji padaku?” kataku lagi padanya setelah terdiam sesaat.
Dia hanya menatapku sambil tersenyum. Wajahnya pucat, melambangkan kesedihan yang teramat sangat.
“Cinta kita akan selalu ada. Kamu mau kan berjanji seperti itu kepadaku?” lanjutku masih menatap wajahnya yang selama dua tahun ini tidak pernah jauh dariku.
Dia mengalihkan tatapannya dari pandanganku. Dia melihat ke atas ke arah dimana bintang-bintang bertebaran begitu indah.
“Cinta kita seperti bintang-bintang itu Sayangku. Menyinari langit. Begitu indah. Seakan membuat orang yang memandangnya ingin merasakan indahnya cinta kita.” Dia tersenyum kemudian kembali menatapku dalam-dalam. “Aku selalu mencintaimu. Bahkan di saat kamu terlelap dalam duniamu. Aku tetap mencintaimu. Bahkan di saat kamu tak menginginkanku ada di sampingmu. Aku tak bisa ungkapkan betapa besarnya cintaku padamu karena tak ada kata-kata yang mampu mewakili perasaanku padamu. Jangan pernah berfikir aku tidak mencintaimu, karena cintaku tak akan pernah berubah hingga kamu tak mampu untuk mencintaiku lagi.”
Aku menitikkan air mata. Betapa dia sangat, oh bukan, tetapi amat sangat mencintai diriku. Aku menangis karena bahagia. Ingin aku merengkuhnya untuk memeluknya sekuat yang aku bisa. Tidak akan aku biarkan dia pergi dariku. Namun, tidak akan ada lagi yang untuk menahannya tetap berada di sini. Penderitaannya begitu berat. Aku tak sanggup mlihatnya seperti ini. Hanya bisa terduduk di sebuah kursi roda, lumpuh seluruh anggota gerak tubuhnya. Semuanya berawal dari penyakit aneh yang tiba-tiba datang menghampirinya. Andai aku bisa, ingin rasanya aku menggantikan posisinya saat ini. Aku tak sanggup, benar-benar tak sanggup melihat orang yang aku cintai dalam kondisi seperti ini.
Malam ini dia terlihat berbeda dari biasanya. Ada suatu pancaran aneh dari matanya yang aku tak paham apa maksudnya. Mungkinkah ini adalah malam terakhir kami untuk bias bersama. Aku takut. Tapi aku tetap berkeyakinan bahwa cinta kami akan mampu merubah segala-galanya. Walau aku menyadari dan amat sangat menyadari bahwa itu adalah hal yang sangat musahil terjadi. Akan tetapi, akan lebih mustahil bila aku hidup tanpa dia, tanpa cintanya yang selama ini telah kuatkan aku tuk perjuangkan hidupku.
“Nee, peluk aku Sayang.” Dia mentapku berharap aku memeluknya. Tangisku semakin menjadi. Aku tak sangup untuk menatap matanya. Aku takut kehilangan cintaku.
“Kau membuatku sedih.” Lanjutnya lagi.
Aku berlutut di hadapannya. Dengan air mata yang masih deras mengalir di pipiku, aku menatapnya. Kemudian memeluk tubuhnya yang dingin.
“Aku sangat menyayangimu Hen. Aku tidak mau kehilangan kamu. Kamu adalah aku. Tanpamu akau tidak ada artinya Sayang.” Kataku saat memeluknya. ”Hen, Hendra!” Panggilku. Tetapi dia tak menyahut. Aku melepas pelukanku dan menatapnya. Matanya terpejam. Wajahnya begitu pucat.
Angin berhembus dingin menusuk tulang sumsumku. Aku terpaku dan tak mampu mengatakan apapun lagi. Apalagi saat kulihat sesosok wanita terbaring di sudut ruangan ini. Ruangan dimana aku dan Hendra sering menghabiskan waktu berdua.
Aku menghampiri sosok wanita itu. Meski dalam kegelapan malam aku masih mampu melihat titik-titik cahaya yang terpantul dari sosok itu. Dia terbaring tak berdaya. Wajahnya juga terlihat sangat pucat hingga aku takut untuk melihatnya. Kemudian aku semakin dekat dengan sosok itu. Dan kini aku mampu melihat siapa sosok itu sebenarnya.
Ya Tuhan!!! Apakah     Kau menciptakan dua makhluk yang sangat mirip bahkan identik walau mereka bukan anak kembar? Aku memperhatikannya lagi. Oh itukah diriku yang terbaring tak berdaya dengan wajah sepucat itu dan sedingin es itu???
Aku terduduk di lantai lemas tak berdaya.

TAMAT