CINTA, SAHABAT DAN LUKA
By: ESTI KHOIRUN
NISA
Aku
berlari secepat yang aku mampu, menyusuri jalan setapak yang aku tidak tahu
akan sampai dimana dan bagaimana keadaannya. Aku tidak peduli, dengan apapun.
Aku hanya ingin pergi jauh. Ingin lari dari kenyataan. Biarlah mereka mengatakan
aku manusia yang picik dan pecundang. Kita tinggal di Negara yang demokratis, bebas mengungkapkan
pendapat. Jadi biarlah. Toh tidak akan berguna aku memberikan penjelasan apapun
pada mereka, yang tidak akan pernah peduli dengan perasaanku. Ah! Apakah mereka
yang berpikiran picik? Menilai segala sesuatu secara subjektif. Apakah itu
adil? Sangat tidak demokratis. Biarlah. Aku saja yang menghilang untuk
melindungi yang lainnya. Walau tidak ada yang mengerti pengorbananku, biarlah!
Peluh bercucuran di dahiku. Menambah
keletihan yang aku rasakan. Aku merasa sudah tidak sanggup lagi untuk berlari. Langkahku
terhenti. Akan tetapi tiba-tiba sebuah sedan meluncur di hadapanku dengan
kecepatan yang sangat tinggi . . . Braakkkk….!!!!!!
“ Ahh…!!!!! ” Aku terbangun dari
tidurku. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Ketakutan itu kembali
muncul di benakku. Merasuki seluruh sumsum tulang di tubuhku. Aku kembali
membaringkan tubuhku di ranjang. Saat ini adalah saat terberat dalam hidupku.
Aku menyesal telah menjadi seperti ini. Aku kehilangan diriku yang dulu. Diriku
yang tidak pernah lemah hanya karena cinta. Yang tidak pernah putus asa meski
telah kalah dalam bercinta. Bahkan kini aku tidak mengenal siapa diriku. Yang
telah hancur berkeping-keping. Mungkin ini memang pantas aku dapatkan untuk
membalas semua kesalahanku.
“ Eh, aku dengar ada gossip baru
ya.. “ Kata Tita sore itu.
“ Gosip apa sih? Apa? Ayo cerita.. “
Sahut Riri sang Ratu Gosip sambil merengek-rengek di hadapan Tita. Sementara
yang lain menunggu dengan tenang apa yang akan dikatakan oleh Tita selanjutnya.
“ Iya, iya. Ini juga mau cerita kok.
Sabar dunk Ri. “ kata Tita. “ Begini. Kemarin aku lihat Ida pulang dari kampus
diboncengin sama Aris lho…” lanjut Tita. Anak-anak yang mendengarnya menjadi
histeris. “ Sepertinya mereka sudah jadian. Tapi aku juga belum tahu pastinya,
soalnya Ida belum cerita. “ Kata Tita lagi.
“ Bagaimana kalau kita tanya
langsung saja ke Ida? Biar kita tidak penasaran lagi dan tidak berpikiran yang
tidak-tidak. “ Usul Fany dan yang lainnya pun menyetujuinya.
“ Sepertinya ada yang aneh. “ Kata
Riri. Dia mengerutkan keningnya tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Padahal
tidak biasanya dia seperti itu. Hidupnya penuh dengan tawa. Jarang sekali dia
mempunyai beban yang membuat pikirannya terperas. Hehe…
“ Ada apa lagi sih? “ Sahut Dina.
Dina adalah sangat berkebalikan dengan Riri. Dia menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk melakukan penelitian-penelitian ilmiah yang tidak seorangpun
dari kami yang mengerti tentang hal itu.
“
Sebentar aku absent dulu ya. “ sahut Riri. “ Tita, Fany, Dina, Indah dan aku.
Seperti kita kehilangan satu orang selain Ida. “ Lanjut Riri lagi. “ Aha!!
Dimana si Sara? Dari tadi tidak terlihat. Jangan-jangan sedang kencan? “
Kami adalah tujuh sahabat yang bisa
dibilang sangat kompak. Kami saling menyayangi. Saling menjaga. Bukan berarti
bahwa tidak pernah terjadi suatu konflik di antara kami. Itu adalah salah
besar. Kami tidak akan pernah tahu bagaimana indahnya persahabatan sebelum
mengalami berbagai macam cobaan. Pernah suatu ketika di saat terjadi
kesalahpahaman antara Riri dan Indah,
keharmonisan kami menjadi amat sangat terganggu. Semuanya berubah menjadi
dingin. Tidak ada sapaan ceria, tidak ada canda tawa, semuanya hambar. Namun,
kami merasa inilah saat dimana kedewasaan kami masing-masing dituntut.
Bagaimana kami bisa mengatasi segala sesuatunya dengan kepala dingin, dengan
penuh lapang dada.
“ Tadi aku lihat dia sedang tidur
siang di kamar. Apa perlu aku bangunkan dulu? “ jawab Fany.
“ Jangan. Sepertinya tidak perlu.
Nanti saja kita ceritakan padanya. Bagaimana? Apa mau diinterogasi sekarang? “
Sahut Dina si professor muda kami.
“ Siaaaap…..!!!!!!! “ Sahut semuanya
serempak.
Aku menggerakkan kepalaku. Rasanya
pening sekali sehingga terpaksa aku harus kembali terbaring di ruangan serba
putih ini. Air mataku kembali meleleh setelah sekian lama membeku. Aku benci
harus menangisi hal ini. Seharusnya dari awal aku mengetahui kalau Aris memang
bukan untukku. Tetapi mengapa aku begitu bodoh dan membiarkannya masuk di
kehidupanku dan menghancurkan aku seperti ini. Aku ingin meminta maaf sampai
mereka bisa mmaafkanku. Tetapi sepertinya semua itu adalah harapan kosong
belaka.
“ Sara!! Sara!! “ Seseorang
memanggil namaku.
“ Iya? Memanggil saya? “ Tanyaku
pada seorang lelaki yang wajahnya terlihat asing bagiku. Aku lihat dia juga
memakai seragam yang sama denganku. Berarti dia juga menempuh studinya di
tempat yang sama denganku.
“ Iya. Memangnya siapa lagi yang
namanya aku panggil selain kamu? Tidak ada orang lain kan di sini? “ Jawabnya
sambil tersenyum lucu.
Aku menengok ke sekelilingku. Memang
benar di sini hanya ada aku. Dan dia juga tentunya. “ Suka baca buku juga? “
Tanyanya padaku seolah aku bukan orang asing lagi baginya.
“ Iya. “ Jawabku singkat tanpa
melihat ke arahnya. “ Kamu tahu tempat ini? “ Lajutku sambil melihat ke
arahnya. Setahuku, sangat jarang mahasiswa datang ke bilik rak buku bagian ini,
paling-paling pengunjungnya adalah para senior yang akan menempuh skripsi. Dia tersenyum
padaku. Sorot matanya aneh, dan dia tidak seperti lelaki lainnya di kampus ini.
“ Ada yang lucu? “ Tanyaku heran.
“ Iya. Kamu lucu sekali. “ Jawabnya.
Dia masih tersenyum sementara akau mengernyitkan dahiku. Kemudian aku kembali
sibuk dengan buku-bukuku. Mungkin orang ini hanyalah orang iseng saja.
“ Ini kan perpustakaan. Siapapun
boleh datang kemari. Dan tempat ini, tempat saat ini kita berdiri adalah bagian
dari perpustakaan, jadi aku kira tidak akan sulit menemukannya. “ Katanya
dengan nada yang santai. Aku masih sibuk dengan buku-bukuku sementara dia terus
mengoceh. “ Ngomong-ngomong, kenapa kamu sering ke sini? Aku lihat setiap hari
kamu selalu ke sini. Kenapa tidak mencari buku di rak sebelah saja, atau dimana
gitu? “ Tanyanya lagi.
“ Oh, jadi selama ini kamu suka
mengikuti dan mengamatiku ya? “ Sahutku sambil melihat ke arahnya. Aku berkacak
pinggang.
“ Peace… Aku tidak sengaja kok.
Soalnya kamu pengunjung perpustakaan paling aneh sih. “ Dia tersenyum
menggodaku.
“ Aneh? Kok bisa? “ Aku bertanya
tidak mengerti.
Dia mendekatkan wajahnya ke arahku
kemudian berkata dengan amat pelan, “ Karena aku tertarik sama kamu. “ Dia
tersenyum kemudian melenggang pergi dengan begitu santainya. Sementara aku
menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya dan tidak mengerti.
“ Dasar aneh!! “ Hanya itu yang
mampu aku ucapkan.
“ Sara, udah dapat bukunya belum? “
Tanya Riri dari rak sebelah.
“ Sudah kok. Yuk. “ Aku melangkah
pergi meninggalkan rak itu dengan penuh tanda tanya. Mungkin orang tadi sedang
mengalami gangguan kejiwaan, pikirku. Kemudian aku tersenyum-senyum sendiri.
“ Kamu kenapa Sar? Kok
tersenyum-senyum gitu? “
“ Ah tidak kok. “
Pertemuan selanjutnya terjadi saat
aku dan teman-temanku sedang berbelanja di sebuah swalayan. Kebetulan kami
sedang tidak bergerombol, dan di saat itulah lelaki itu muncul kembali. “ Hai
Sara. “ Sapanya sambil tersenyum manis. Aku hanya membalasnya denga tatapan
dingin saja. Benar-benar orang yang aneh menurutku. Mungkinkah semua lelaki
seperti ini ketika mereka sedang mendekati seorang wanita? Aku tidak tahu
karena jujur saja aku belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun selain
dengan keluargaku. Sangat aneh memang bagi seorang gadis seusiaku. Tetapi aku
sama sekali tidak peduli. Aku hanya merasa belum ada orang yang benar-benar
cocok denganku. Aku tidak ingin memaksakan diri untuk berhubungan dengan orang
yang menurutku tidak sesuai dengan kriteriaku, dann inilah yang membuatku
mengapa sampai 18 tahun aku belum pernah merasakan pacaran.
“ Belanja ya? Mau aku temenin? “
Tanyanya padaku. Pikirku dia pasti hanya ingin berbasa-basi saja denganku.
Dengan bermaksud ingin membuatnya menjadi serba salah, aku menganggukkan
kepalaku tanda aku mengiyakan pertanyaannya.
“ Sip! aku pastikan kegiatan
belanjamu kali ini akan menyenangkan.” Katanya terdengar begitu bahagia. Huh!
Ternyata jebakanku tidak mempan padanya. Dengan dongkol aku membiarkannya
mengikutiku. Sungguh menyebalkan.
Begitulah orang itu. Selalu
mengikutiku kemanapun aku pergi. Namun, saat teman-temanku sedang bersamaku,
dia tidak mau mengusikku. “ Ayo aku kenalkan dengan teman-temanku. “ Kataku
siang itu saat aku sedang berada di perpustakaan.
“ Ah jangan. Aku takutnya nanti
teman-temanku pada jatuh cinta sama aku. Kan repot. Padahal kan aku sukanya
sama kamu. “ Katanya dengan nada menggoda.
“ Apaan sih! “ Sahutku acuh tak
acuh.
“ Beneran kok. Kali ini aku tidak
bercanda sama sekali. Aku suka sama kamu. Kamu mau tidak menjadi kekasihku? “
Lanjutnya dengan nada serius kali ini. Dia menatapku dalam. Jujur saja aku bisa
merasakan kalau dia memang sungguh-sungguh dengan ucapannya. Pendekatan yang
dia lakukan pun tidak hanya sehari dua hari saja, melainkan hampir sebulan. Aku
menjadi bingung harus mengatakan apa. Ah! Bahkan namanya sajapun aku belum tahu
sampai saat ini, padahal dia sudah tahu banyak tentangku. Sejenak aku merasa
tidak enak kepadanya.
Tok..
Tok.. Tok.. Seseorang membuka pintu ruanganku. Kemudian terlihat sosok
wanita yang mengenakan seragam serba putih tersenyum manis padaku dan
menghampiriku.
“ Bagaimana keadaannya mbak? Sudah
baikan? “ Tanyanya ramah. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk lemah.
“ Baik, saya periksa tekanan
darahnya dulu ya mbak. “ Suster itu menyiapkan peralatan yang telah dibawanya.
Kemudian memasangkannya di lenganku. Setelah itu dia tersenyum padaku dan mulai
menggerayangi perutku dengan alat-alat yang ada di tangannya.
“ Kandungannya baik-baik saja mbak.
Jangan terlalu banyak berpikir dulu ya, karena nanti bisa mempengaruhi
pertumbuhan janin di alam kandungan. “ Kata suster itu lagi dengan senyum yang
tidak pernah lepas dari bibirnya. Kemudian setelah membereskan peralatannya dia
pergi meninggalkan ruanganku lagi.
“ Yang benar saja Sar kamu sudah
jadian dengan lelaki itu? “ Tanya Fany dengan mata terbelalak. Yang lainnya pun
ikut-ikutan mengerubungiku dengan mata yang melotot dan membuatku menjadi takut
dengan tingkah mereka. “ Tapi namanya saja kamu tidak tahu masa kamu sudah
mengiyakan untuk menjadi kekasihnya? “ Lanjut Fany. Benar juga kata Fany.
Bagaimana bisa aku mengiyakan untuk menjadi kekasihnya yang namanya saja aku
tidak tahu. Aku tersenyum malu.
“ Besok kalau bertemu dengannya
pasti aku tanyakan siapa namanya. “ Sahutku dengan senyuman yang lugu.
“ Ngomong-ngomong, siapa sih lelaki
itu Sar? Kok tidak pernah kamu kenalkan pada kita? Kita kan juga ingin tahu
siapa lelaki beruntung yang mampu meruntuhkan status lajangmu selama 18 tahun
ini. “ kata Ida ekspresi yang lucu.
“ Iya. Pasti nanti aku akan
membawanya pada kalian. “ Jawabku dengan mantab.
Pagi ini begitu cerah. Semoga ini
adalah pertanda baik untukku. Dengan wajah yang begitu sumringah aku menuju ke
perpustakaan tempatku dan kekasihku biasa bertemu. Dan benar saja, aku
menemukannya di sana. Aku menghampirinya dan dia menyambutku dengan senyumnya
yang begitu menawan.
“ Jalan yuk Sayang? “ Katanya
padaku.
“ Mau pergi kemana? Kam sudah tidak
ada kuliah lagi? “ Kataku balik bertanya.
“ Tidak ada kok. Yuk! “ Kemudian
kami pergi berboncengan dengan motor ninjanya yang tidak kalah kerennya dengan
si empunya.
“ Tahu tidak kenapa aku suka sama
kamu? “ Tanyanya memulai pembicaraan kali ini. Suasana di pantai begitu
menyejukkan jiwa. Anginnya berhembus menerpa wajahku. Aku menatapnya
dalam-dalam. Diam-diam selama ini sebenarnya dari awal berjumpa dengnnya aku
sudah merasakan perasaan yang aneh padanya. Kemudian aku menggelengkan
kepalaku.
Dia tersenyum kemudian berkata, “
Aku bermimpi bertemu denganmu di perpustakaan. Aku merasa bahwa gadis dalam
mimpiku ini pastilah jodohku. Kemudian aku membuktikannya, dan ternyata aku
benar-benar bertemu denganmu. Sulit dipercaya memang. Tetapi itulah yang aku
alami. “ Dia berhenti sejenak dan menatapku dalam-dalam. Kami tenggelam dalm
tatapan masing-masing. Hingga akhirnya dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Sangat dekat hingga bibirnya mulai menyentuh bibirku. Begitu lembut. Dan
kamipun tenggelam dalam melodi percintaan yang kemudian membuatku menyesal
seumur hidup.
“ Aaaaahhhh!!!!! “ Aku terbangun
dari tidurku. Mimpi buruk itu kembali membayangiku. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya.
Akulah orang yang paling hina saat ini. Pernah aku mencoba untuk membunuh
diriku sendiri, namun takdir berkata lain. Aku harus terbaring di rumah sakit
lemah tak berdaya dengan kondisi tulang kakiku yang kini patah. Kini aku hanya
sendiri, tanpa sahabat-sahabat yang dulu selalu bersamaku. Mungkin inilah jalan
hidup yang harus aku jalani. Seorang diri.
“ Wah yang baru saja selesai kencan.
Bagaimana? “ Tanya Dina begitu aku sampai di rumah kontrakan.
“ Bagaimana apa Din?” Jawabku
sedikit kurang bersemangat. Selanjutnya aku tidak lagi memperhatikannya. Aku
melenggang ke kamarku. Aku menangis tersedu-sedu menyesali yang telah terjadi
padaku. “ Kalau kamu kenapa-kenapa aku akan bertanggungjawab Sayang. Aku sayang
kamu. Kamu percaya padaku kan? “ Katanya sore tadi. Aku hanya menggangguk
dengan air mata yang membasahi pipiku.
“ Sara…. Kamu dimana? “ Teriak Riri
memanggilku dengan suaranya yang sangat nyaring memekakkan telinga. “ Ayo sini,
mau dikenalkan sama pacarnya Ida. Cepat ya. “ Dengan malas aku mengusap air mataku dan
merapikan bajuku. Aku menuju ke ruang dimana mereka sedang berkumpul. Aku
melihat ke sekeliling. Mereka begitu bahagia.
Namun. Ya Tuhan! Tatapan mata itu
aku begitu mengenalnya. Dia mengapa ada di sini? Aku semakin mendekat ke arah
mereka, dengan perasaan yang campur aduk. Tatapannya tidak sedetikpun lepas
dariku. Apakah ini? Ataukah teman-temanku ingin memberikn suatu kejutan
kepadaku dengan mendatangkan kekasihku kemari? Aku tidak tahu. “ Sara kamu lama
sekali. Ini aku mau mengenalkanmu pada Aris. Dia kekasihku. “ Kata Ida dengan
mata berbinar-binar. Seketika itu juga rasanya bagaikan ada halilintar yang
menyambar hatiku. Namanya Aris? Kekasih Ida? Apa maksud dari semua ini?
Bermimpikah aku? Oh tidak! Sayangnya aku tidak bermimpi.
Tok..
Tok.. Tok.. “ Masuk saja. “ Kataku.
Kemudian aku memalingkan pandanganku ke arah pintu yang dibuka. Aku tersentak
kaget. Pasti aku sedang bermimpi lagi. Aku mencubit tanganku. Ah sakit!
“ Sara. Maafkan kami. “ Ida berkata
padaku dengan suara yang lirih. Matanya berkaca-kaca. Aku melihat Riri, Fany,
Dina dan Indah juga terlihat dalam keadaan yang sama. Kemudian aku menebarkan
pandanganku ke setiap penjuru ruangan. Dan aku menemukannya. Aris.
“ Seharusnya aku tidak bersikap
seperti itu padamu Sar. Ini bukan salahmu. Aku yang jahat karena membiarkanmu
pergi dengan keadaanmu yang seperti ini. Tidak sepantasnya kami membencimu.
Bukan salahmu. “ Ida menitikkan air mata diikuti yang lainnya. Mereka semua
mendekat kepadaku dan memegang tanganku, menggenggamnya erat. “ Kami
mendapatkan kabar bahwa kamu sedang berada di sini dalam keadaan….. hamil dan
patah tulang kaki. “ Lanjut Ida dengan suara yang amat lirih. Aku menitikkan
air mata. Tidak sanggup berkata apa-apa. “ Aris. Milikilah Sara. Aku sudah
tidak berhak lagi padamu. Seharusnya aku tahu kalau kamu lebih mencintai Sara.
Tetapi aku memaksa tidak mau berpisah denganmu. “ Kata Ida lagi. Kemudian Aris
melangkah mendekat kepadaku. Sahabat-sahabatku memberikan tempat padanya. Dia
menggenggam erat tanganku. Menitikkan air mata. Kemudian mencium keningku.
“ Tetapi aku cacat Aris. Aku tidak
memaksamu untuk bertanggungjawab padaku. Aku sudah mengikhlaskanmu dengan Ida.
Kembalilah pada Ida. “ Kataku sambil menangis tersedu-sedu.
“ Tetapi aku lebih menyayangimu
Sara. Tegakah kau membiarkanku sengsara tanpamu? “ kata Aris. “ Aku mencintaimu
dan aku ingin kamu menjadi milikku selamanya.” Aku menangis lagi. Namun kali
ini adalah tangis bahagia. “ Aku juga mencintaimu dan aku mau menjadi milikmu
selamanya. “
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar